Sabtu, 09 April 2011

Manusia Dan Keadilan


Kasus Tidak Konsistennya Penegakan Hukum Di Indonesia

Setiap manusia dalam hidup dan kehidupannya melakukan berbagai aktifitas yang pasti pernah menemukan perlakuan yang tidak adil atau bahkan sebaliknya, melakukan hal yang tidak adil. Dimana pada setiap diri manusia pasti terdapat dorongan atau keinginan untuk berbuat kebaikan “jujur”. Tetapi terkadang untuk melakukan kejujuran sangatlah tidak mudah dan selalui dibenturkan oleh permasalahan-permasalahan dan kendala yang dihadapinya yang semuanya disebabkan oleh berbagai sebab, seperti keadaan atau situasi, permasalahan teknis hingga bahkan sikap moral. Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan. Karena keadilan merupakan pengakuan atas perbuatan yang seimbang, pengakuan secara kata dan sikap antara hak dan kewajiban. Setiap dari kita “manusia” memiliki itu “hak dan kewajiban”, dimana hak yang dituntut haruslah seimbang dengan kewajiban yang telah dilakukan sehingga terjalin harmonisasi dalam perwujudan keadilan itu sendiri. Menurut Aristoteles, keadilan akan dapat terwujud jika hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan sebaliknya, hal -hal yang tidak semestinya diperlakukan tidak semestinya pula.
Di Indonesia sebuah keadilan belum terealisasikan secara benar hal tersebut dapat terlihat dari kebanyakan kasus yang seringkali menunjukan ketidak konsistenannya penegakan hukum di negara ini. Sebuah kasus yang kebanyakan terjadi menunjukan krisis penegakan hukum dan memberi tekanan pada faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari hukum yang telah ditentukan dalam senuah negara. Namun untuk mencapai supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja. Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.

·        Contoh kasus tidak konsistennya penegak hukum di Indonesia
Kepolisian Republik Indonesia terkesan tidak serius menangani dua perwira yang tersangkut kasus Gayus H. Tambunan. Majelis kode etik institusi itu hanya memvonis Brigadir Jenderal Raja Erizman dan Brigadir Jenderal Edmon Ilyas dengan hukuman ringan.
Sanksi terhadap Raja Erizman diputuskan belum lama ini, menyusul hukuman bagi Edmon yang telah dijatuhkan pada bulan lalu. Keputusan terhadap dua mantan pejabat penting di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri itu hampir sama. Majelis kode etik memerintahkan kedua jenderal itu meminta maaf kepada kepolisian karena dinilai merusak wibawa institusi tersebut. Hukuman lain adalah tidak ditugaskan lagi di bagian reserse.
Mereka cuma dinyatakan bersalah dalam urusan mengontrol anak buah. Keduanya dianggap tidak maksimal menjalankan tugas ini. Raja dan Edmon pun sebetulnya telah menjalani hukuman itu. Sejak September tahun lalu mereka sudah dimutasikan menjadi staf ahli Kapolri.
Publik tentu bertanya-tanya kenapa keduanya cuma dianggap lalai mengawasi anak buah. Bukankah kadar kesalahan mereka lebih dari itu? Raja Erizman, misalnya, dituduh memerintahkan pembukaan rekening Gayus sekitar Rp 25 miliar yang sebelumnya diblokir. Tudingan ini dilontarkan oleh anak buah Raja di pengadilan, dan dikuatkan pula oleh Edmon.

Setelah Teror Muncul Lagi

Segala bentuk teror, apalagi menggunakan bom, terang melawan nilai-nilai kemanusiaan. Itu sebabnya, apa pun motifnya, pengiriman paket buku berisi bom untuk Ulil Absar Abdalla, Komisaris Jenderal Gories Mere, dan Yapto S. Suryosumarno harus dikutuk. Polisi pun mesti sekuat tenaga menangkap pelakunya.
Kendati ketiga figur itu selamat dari ancaman bom, keinginan pelaku untuk menebar teror sekaligus mengoyak rasa aman masyarakat boleh jadi telah tercapai. Bom yang dikirim kepada Gories dan Yapto memang bisa dijinakkan, tapi paket bom untuk Ulil, yang diketahui lebih awal, melukai sejumlah polisi.
Kejadian ini terekam oleh kamera televisi dan kemudian menjadi tontonan yang mengerikan bagi publik. Masalahnya, kelompok-kelompok yang dituding sebagai dalang teror bom buku justru menuduh pemerintah merekayasa aksi itu untuk menyudutkan mereka. Perang kata-kata seperti ini hanya bisa diakhiri jika polisi mampu menangkap si pelaku, tentu disertai sederet bukti keterlibatannya.
Kepolisian semakin dituntut keseriusannya menangani kasus ini setelah tak berhasil membongkar teror dalam bentuk lain. Misalnya pelemparan bom molotov di kantor majalah Tempo dan kasus penganiayaan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama Satrya Langkun. Bagaimanapun, masyarakat berhak atas kehidupan yang tenteram dan terbebas dari rasa takut.

Kemenangan Pengusik KPK

Ditolaknya peninjauan kembali kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah adalah kabar buruk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Nasib dua anggota pimpinan Komisi yang berstatus sebagai tersangka ini tetap terombang-ambing. Inilah kemenangan bagi kalangan yang selama ini berupaya mengerdilkan Komisi.
Mahkamah Agung tentu memiliki alasan yuridis untuk menampik upaya hukum yang diajukan kejaksaan itu. Sesuai dengan undang-undang, perkara praperadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap jika telah diputuskan oleh pengadilan banding. Alasan ini pula yang digunakan oleh Mahkamah untuk menolak peninjauan kembali kasus Bibit-Chandra. Menurut MA, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, pengadilan tertinggi ini tidak bisa menangani perkara praperadilan.
Konsekuensi penolakan adalah Bibit-Chandra terancam diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, bahkan menerima suap. Kendati tuduhan ini penuh rekayasa, tahun lalu polisi melimpahkan kasus ini ke kejaksaan. Setelah diprotes publik, Kejaksaan Agung menyetop kasus ini dengan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Surat inilah yang digugat lewat praperadilan oleh Anggodo Widjojo, pihak yang mengaku telah berusaha menyuap dua petinggi KPK itu.
                                         
Pengadilan sebagai institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat memberikan rasa puas bagi masyaralat bawah. Buktinya para koruptor milyaran bahkan triliunan rupiah masih berkeliaran dialam bebas, bolak-balik keluar negeri, hiburan kemana saja bisa dilakukan. Padahal mereka jelas-jelas korup uang negara. Bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan kalau kita lihat ke bawah pencuri, jambret, perampok kecil-kecilan yang terpaksa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidupnya harus dihajar dan dianiaya dalam proses penyidikan dikepolisian. Dan memang ini adalah merupakan kejahatan dan melanggar hukum, tetapi kalau dibandingkan dengan para koruptor (penjahat kera putih) yang hanya dapat dilakukan orang diatas dapat begitu saja lepas dari jeratan hukum. Dan ini adalah faktor aparat penegak hukumnya yang belum mampu menegakan supremasi hukum.
Kekecewaan atau ketidak puasan pencari keadilan dapat kita lihat dalam setiap kasus yang masuk dan diproses didalam pengadilan (kasus Perdata) atau banyaknya para pihak yang berperkara di pengadilan yang setelah diputus oleh hakim pengadilan tingkat pertama, melakukan upaya hukum, (banding, kasasi, peninjauan kembali) ini membuktikan bahwa setiap keputusan di pengadilan belum dapat memberikan rasa adil dan puas. Dan walaupun memang setiap orang berhak untuk melakukan upaya hukum sesuai peraturan yang berlaku.
Salah satu fungsi hukum adalah pemecahan masalah atau konflik disamping fungsi lain yaitu sebagai alat menurut Achmad ali dalam bukunya yang berjudul Pengadilan dan Masyarakat dalam pemecahan suatu masalah atau konflik hendaknya para pejabat yang berwenang hendaknya bersikap adil dan berlandaskan asas praduga tak bersalah dan tidak menempatkan hukum hanya sebagai alat untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar